Pasti banyak dari kita sudah mendengar nama “Daan Mogot”. Jalan Daan Mogot yang terbentang dari perempatan Grogol Jakarta Barat hingga Tangerang pasti familiar di telinga warga Jabodetabek. Apalagi mungkin sebagian dari Anda selalu melintas di jalan tersebut. Tetapi tahukah Anda siapakah Daan Mogot itu?
Daan Mogot adalah seorang perwira militer berpangkat mayor, dan merupakan salah seorang pahlawan nasional yang gugur pada tanggal 25 Januari 1946, sewaktu terjadi pertempuran di area markas pasukan tentara Jepang di kawasan Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Daan Mogot lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 28 Desember 1928. Nama lengkapnya, Elias Daniel Mogot. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara, buah cinta dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Saudara sepupu Daan Mogot, antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta), dan Irjen Pol A. Gordon Mogot, mantan Kapolda Sulut.
Besar dari keluarga tentara dan polisi membuatnya tak gentar untuk berperang menghadapi penjajah di usia yang terbilang sangat muda. Bayangkan saja! Daan Mogot sudah mengangkat senjata sejak usianya 14 tahun.
Pada tahun 1942, saat Daan Mogot berusia 14 tahun, ia pun bergabung di PETA (Pembela Tanah Air) yaitu organisasi militer pribumi bentukan Jepang di Jawa, walaupun sebenarnya ia tak memenuhi syarat karena usianya belum genap 18 tahun. Karena prestasinya yang luar biasa ia diangkat menjadi pelatih PETA di Bali hingga kemudian dipindahkan ke Batavia.
Saat kejatuhan Jepang dan selepas Proklamasi 1945, Daan Mogot bergabung dengan pemuda lainnya mempertahankan kemerdekaan dan menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat Mayor.
Uniknya saat itu Daan Mogot baru berusia 16 tahun namun sudah berpangkat Mayor. Namun sayang, saat ia berjuang membela negeri ini, ayahnya justru tewas dibunuh oleh para perampok yang menganggap “orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda. Kesedihannya itu ia sampaikan pada sepupunya Alex Kawilarang (Mantan Panglima Kodam Siliwangi).
Namun, Daan Mogot tak mau berlama-lama bersedih. Kesedihannya dialihkan dengan mendirikan Akademi Militer di Tangerang bersama Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin. Dan Daan Mogot diangkat menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada usia 17 tahun dengan calon Taruna pertama yang dilatih berjumlah ada 180 orang.
Sayangnya jabatannya itu adalah jabatannya yang tertinggi sekaligus terakhir dalam kisah karir militer anak muda belia tersebut. Apa boleh dikata, Tuhan Yang Maha Kuasa menakdirkan, sebanyak 33 taruna dan 3 perwira gugur di medan laga. Pada tanggal 25 Januari 1946, ia dinyatakan gugur dalam pertempuran sengit di Hutan Lengkong Tangerang, Banten melawan sekutu Belanda.
Empat hari setelah Peristiwa Lengkong, atau tepatnya 29 Januari 1946, dilaksanakan pemakaman kembali ke-36 jenasah yang gugur dalam Peristiwa Lengkong. Lokasi pemakaman ulang ini, kini menjadi Taman Makam Pahlawan Taruna yang terletak di Jalan Raya Daan Mogot No,1, tak jauh dari area Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Remaja dan Anak, juga dekat dengan Masjid Raya Al A’zhom di Kota Tangerang.
Adapun ketiga perwira TRI yang gugur dalam Peristiwa Lengkong adalah Mayor Daan Mogot (Direktur Akademi Militer Tangerang), Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo (Polisi Tentara Resimen IV), dan Lettu Soetopo (Polisi Tentara Resimen IV).
Sedangkan ke-34 Taruna Akademi Militer Tangerang yang gugur yakni, Said Mohammad Alhadad, Mohammad Arsad bin Moesanip, Bacharoedin, R Brentel Soegito, Harsono Pramoegiri, Rudolf Maringka, Marsono, Martono, Matdoellah, Memed Danoemihardja, Oemar Ali bin Ali, Rafli Agoes, Mohammad Ramli Achmad, Rohadi, Saleh Bachroedin bin Haji Soehaemi, R Santoso Koesman, Sasmita, Sasmito Soenarjo, Sarjanto Sarnoe, Sjamsir Alam, Sjewket Salim, Soebandi, Soebijanto Hardjowijoto, Soegianto, Soegito, R.M. Soedjono Djojohadikoesoemo, Soekadi (meninggal beberapa saat setelah Peristiwa Lengkong di Rumah Sakit Tangerang), Soekiswo, Somantri Martaatmadja, Soerardi, Soerjani, R Soeseno, Soewirjo Tjokrowigeno, dan Zainal.
Perlu diketahui, diantara dua nama yang gugur yakni Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo dan R.M. Soedjono Djojohadikoesoemo, tak lain adalah kakak beradik, dan merupakan anak kandung dari R Margono Djojohadikoesoemo, selaku pendiri BNI 1946.
R Margono Djojohadikoesoemo juga memiliki anak bernama Soemitro Djojohadikoesoemo, seorang begawan ekonomi nasional, yang tak lain adalah ayah dari mantan Danjen Kopassus Prabowo Soebijanto Djojohadikoesoemo, dan pengusaha Hashim Djojohadikoesoemo. Artinya, terdapat dua orang paman kandung dari Prabowo Soebijanto dan Hashim, yang gugur dalam peristiwa heroik nan bersejarah di Lengkong.
Kepergiaan Daan Mogot meninggalkan duka mendalam tak hanya bagi keluarga, teman, para taruna didikannya dan bangsa Indonesia. Salah seorang yang paling bersedih adalah Hadjari Singgih, kekasih Mayor Daan Mogot.
Hadjari sampai memotong habis rambutnya yang sepanjang pinggang dan menguburkannya bersama jenazah Daan Mogot. Cintanya dibawa mati hingga ke liang lahat.
Sumber: https://elshinta.com/news/32897/2015/11/10/mayor-daan-mogot-pahlawan-ganteng-dari-tangerang