Situs cagar budaya Makam Pahlawan Seribu Serpong merupakan salah satu situs cagar budaya yang teletak di Kademangan, Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten dengan letak geografis 106°40’ 24.22” BT , 06°20’00.50” LS.

Situs Makam Pahlawan Seribu Serpong sangat berhubungan erat dengan sejarah bangsa Indonesia sendiri, secara garis besarnya Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945, tetapi di daerah Serpong masih di duduki oleh tentara NICA (Nederlands Indies Civil Administration).

Saat ini masyarakat lebih mengenal tempat ini dengan nama Seribu Serpong. Meski namanya “Seribu Serpong”, bukan berarti ada 1.000 makam pahlawan yang ada di TMP yang memiliki luas 9.835 m2 ini.

Hanya ada 238 makam pahlawan yang ada di sini, ditambah dua makam lagi, sehingga total semuanya adalah 240 makam. Seluruh makam seperti berseragam, di-cat warna putih dengan sedikit warna merah pada bagian atas kayu nisan, sebagai perlambang bendera merah putih. Diwarna yang gagah berani mereka perjuangkan hingga titik darah penghabisan!

Makna dari kata ‘Seribu’ itu bukan berarti ada seribu makam pahlawan yang ada di sini. Seribu itu diambil dari teriakan kalimat penggelora semangat perjuangan dalam menghadapi penjajah Belanda.

Yaitu, dari kata ‘Serbu’. Tapi, ada juga yang menyatakan, ‘Seribu’ itu menjadi pilihan kata yang paling tepat, untuk menggambarkan secara simbolis betapa banyak jumlah warga masyarakat Banten yang ikut berjuang melawan penjajahan Belanda pada waktu itu. Termasuk, banyak pula yang gugur di medan peperangan tersebut.

Di monumen daftar nama-nama para pahlawan di TMP ini, terdapat 151 nama pahlawan, dan sisanya, sebanyak 87 makam tertulis sebagai Pahlawan Tak Dikenal. Adapun tambahan 2 makam ‘baru’, posisinya saling berdampingan, dan terletak di sebelah kiri monumen segitiga yang bentuknya mirip ujung senjata tombak.

Kedua makam itu atas nama almarhum H E Mugni Sastradipura bin H Asnawi (wafat pada 31 Januari 2000) seorang personil militer yang pangkat terakhirnya adalah Kolonel (purnawirawan) dan di sebelahnya persis adalah makam almarhumah Hj Ratnaningsih Mugni binti Samsuri Parta Supadma (wafat pada 7 April 2003). Makam pasangan suami istri ini, tak lain adalah merupakan makam orang tua dari Wakil Walikota Tangsel periode 2011-2016 dan 2016-2021 Drs. H. Benyamin Davnie.

Pertempuran di Serpong pada akhir bulan Mei 1946 terjadi karena serangan laskar-laskar dari Banten terhadap tentara Belanda. Serangan itu terjadi karena Banten merasa terancam dengan didudukinya Serpong oleh Belanda. Beberapa hari setelah Serpong diduduki oleh Belanda, tanggal 23 Mei 1946 pasukan laskar dari Desa Sampeureun, Kecamatan Maja, suatu tempat yang dekat dengan garis demarkasi, berjalan menuju Serpong.

Pasukan berkekuatan 400 orang dibawah pimpinan KH Ibrahim. Sesampai di Tenjo pasukan bergabung dengan pasukan laskar dari Tenjo yang dipimpin oleh KH Harun, seorang ulama yang terkenal sebagai Abuya Tenjo. Laskar Tenjo berjumlah sekitar 300 orang.

Pada tanggal 25 Mei 1946 kedua pasukan tersebut dengan menggunakan senjata tajam terus berjalan kaki menuju Parungpanjang, suatu tempat disebelah barat Serpong. Disepanjang perjalanan menuju sasaran pasukan bertambah terus di antaranya dari Pasukan dari Kampung Sengkol pimpinan Jaro Tiking, pasukan dari Rangkasbitung pimpinan Mama Hasyim dan Pasukan Laskar pimpinan Nafsirin Hadi dan E.Mohammad Mansyur.

Pada tanggal 25 Mei 1946 malam, para pimpinan pasukan berunding untuk mengatur siasat pertempuran. Esok harinya, tanggal 26 Mei 1946 Serpong di serang. Pasukan Pimpinan KH Harun menyerang dari belakang sedangkan Pasukan Pimpinan KH Ibrahim, pasukan pimpinan Mama Hasyim dan pasukan pimpinan E.Mohammad Masyur menyerang dari depan dengan melalui jalan raya Serpong. Dalam gerakan menuju sasaran pasukan mengumandangkan takbir “Allahu Akbar”.

Suara takbir itu membuat pasukan Belanda waspada dan siap mengambil posisi ditempat-tempat yang strategis. Pasukan laskar Banten maju terus dengan mengumandakan takbir dan Pasukan Belanda gencar menembaknya sehingga korban berjatuhan. Suara Takbir lambat laun melemah dan akhirnya tidak terdengar lagi dan pasukan Banten sekitar 200 orang gugur, termasuk KH Ibrahim dan Jaro Tiking.

Untuk mengurus dan memakamkan jenazah para korban, Nafsirin Hadi berhasil menemui Pimpinan tentara Belanda, seorang Letnan KNIL.

Permintaannya dikabulkan dengan mengatakan: “Saya diharuskan memberikan Tuan izin untuk menguburkan jenazah-jenazah itu, tetapi hanya oleh empat orang dari Pasukan Tuan. Dan pukul 06.00 sore, Tuan harus sudah meninggalkan tempat ini”. Atas persetujuan pimpinan tentara Belanda para korban itu pada tanggal 27 Mei 21946 siang dikubur secara masal dalam tiga lubang besar. Namun tempat pemakaman itu kemudian diberi nama “MAKAM PAHLAWAN SERIBU” yang terletak di Kampung Pariang, Serpong.

Sebenarnya, jasad para pahlawan yang ada di TMP Seribu Serpong ini, sebelumnya telah dikebumikan di titik lokasi pertempuran, yaitu di pertigaan Kecamatan Cisauk (atau lebih dikenal dengan Pasar Lebak, Kabupaten Tangerang.

Di lokasi tersebut, dibangun juga Monumen Tugu Pahlawan. Tapi, seiring pesatnya perkembangan wilayah, membuat makam para pahlawan itu seolah ‘terpinggirkan’ oleh kesibukan perniagaan komersial, tambah lagi, pertigaan Cisauk memang kondang akan kemacetan lalu-lintasnya. Alhasil, TMP di lokasi titik pertempuran Pahlawan Seribu itu pun dipindahkan ke tempatnya yang sekarang.

Sumber: https://pelancongudik.wordpress.com/2016/04/13/cagar-budaya-di-tangerang-selatan

There are no comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked (*).