Kawasan pecinan Tangerang memiliki daya tarik sendiri. Sebuah potret toleransi dari masjid tertua di kawasan pecinan Tangerang, salah satunya adalah keberadaan Masjid Jami Kalipasir bercorak Tionghoa yang dibangun sejak abad ke-16 tepatnya tahun 1608. Lokasi masjid di Kelurahan Sukasari, tepatnya di sebelah timur bantaran Sungai Cisadane. Dekat permukiman warga etnis Tionghoa dengan makam-makam yang ada di depan masjid.
Akses menuju masjid cukup mudah karena berjarak sekitar 700 meter dari Stasiun Tangerang. Sementara dari Kawasan Pasar Lama pengunjung tinggal lurus dan menyusuri Jalan Kalipasir Indah untuk mencapainya.
Dari luar, nuansa Tionghoa begitu kental. Dari kejauhan, pengunjung bisa melihat menara masjid berbentuk pagoda. Berbeda dari bangunan masjid yang berusia lebih 400 tahun, menara ini baru dibangun pada taun 1904.
Sisi lain yang memperkuat nuansa Tionghoa adalah dominasi warna kuning dan hijau pada bangunan masjid. Hal ini terlihat mulai dari dinding luar hingga beberapa jendela dan ornamen lainnya.
Di bagian depan, masjid dihias dengan keramik kuning muda dan sisi lainnya diberi cat warna hijau. Keempat sisinya dihiasi beberapa jendela dan pintu-pintu berkaca.
Memasuki bagian dalam, nuansa putih mendominasi. Keramik putih menghias mulai dari lantai hingga seluruh dinding. Di bagian atap, warna putih kembali jadi pilihan. Nuansa klasik ini memberi keteduhan dan kian memaknai nilai sejarah Masjid Jami Kalipasir.
Bagian atap dihias pula dengan garis hijau yang senada dengan hiasan kaligrafi di beberapa bagian dinding. Di tengah ada empat tiang dari kayu jati yang seusia masjid ini.
Masjid Jami Kalipasir berukuran 16×18 meter atau sekitar 288 meter persegi. Tak terlalu luas. Namun, catatan sejarah dan perjalanan 413 tahun membuat masjid ini layak dijadikan salah satu lokasi wisata religi, terutama saat bulan Ramadan.
Uniknya, masjid ini memiliki saf salat yang miring sebab posisi masjid tidak menghadap ke arah kiblat. Tetapi, mihrab masjid tetap dibangun mengikuti posisi kiblat.
Namun, bila menengok lagi jauh ke belakang, masjid ini menyimpan banyak cerita dan teladan yang relevan untuk diikuti oleh warga masa kini.
Tidak cuma mengenai sejarah syiar Islam di Tangerang, tetapi juga saksi bisu toleransi antar umat beragama yang telah terjadi secara turun-temurun.
Salah satu marbot Masjid Jami Kalipasir, Erik, menceritakan bagaimana hubungan umat Islam di masjid ini yang tetap erat dengan warga di sekitar yang sebagian besar merupakan keturunan Tionghoa.
Tidak sampai 100 meter dari masjid tersebut, ada bangunan bersejarah lainnya, yakni Vihara Boen Tek Bio yang umurnya pun tak kalah tua.
“Kalau bicara toleransi, kami sudah melakukan itu dari jauh-jauh hari,” kata Erik ketika ditemui.
Erik berkisah, hampir setiap tahun, pada perayaan hari raya agama masing-masing, suasana toleransi kental terasa.
Seperti saat umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha, warga sekitar sampai pengurus Vihara Boen Tek Bio ikut membantu kelancaran acara, salah satunya dengan turut mengawasi keamanan setempat.
Sebaliknya, ketika ada Hari Raya Waisak dan perayaan besar lainnya di Vihara Boen Tek Bio, umat dan pengurus Masjid Jami Kalipasir bergantian menjaga keamanan dan membantu mengatur parkir kendaraan serta kelancaran arus lalu lintas.
Baca juga: Masjid Pintu Seribu Tangerang
Hubungan simbiosis mutualisme ini terjadi begitu saja tanpa ada tuntutan apa pun dari masing-masing pihak alias dilakukan secara sukarela.
Tidak hanya sesama umat beragama, pengurus masjid dan vihara pun kerap menggelar acara bersama.
Acara itu dijadikan ajang diskusi dan silaturahim, mempererat hubungan antara satu dengan yang lain.
Memelihara sejarah dan toleransi
Menurut Erik, toleransi antar umat beragama harus terus dijaga, terlebih di kala situasi politik yang sempat memanas beberapa waktu lalu.
Meski politik identitas bergejolak di Jakarta dan beberapa daerah lain ikut terpengaruh, Erik bersyukur karena gejolak yang sama tidak terjadi di lingkungannya.
“Kami dari pengurus masjid tidak ikut Aksi Bela Islam yang kemarin diadakan. Tidak perlu, menurut kami. Dan kondisi di sini juga aman-aman saja, karena kuncinya saling menghargai dan menghormati,” tutur Erik.
Budaya saling menghargai dan menghormati ini merupakan warisan para pendahulu di Masjid Jami Kalipasir.
Bahkan, dari segi bangunan, nampak dengan jelas akulturasi budaya antara agama Islam dengan budaya Tionghoa, yang kini dijadikan cagar budaya dan tetap dipertahankan.
Keunikan Masjid Jami Kalipasir, kata Erik, adalah menara masjid yang mirip dengan pagoda di Tiongkok.
Tidak jauh dari menara, juga ada hiasan lain di kubah masjid yang bentuknya menyerupai ornamen atap bangunan di vihara.
“Empat pilar di dalam masjid juga kami pertahankan, ini belum pernah diganti atau diperbaiki, makanya kelihatan retak-retaknya. Kami topang tiap pilar dengan penyangga besi,” ujar Erik.
Ia menyampaikan, para pengurus saat ini menyusun kembali catatan sejarah masjid yang terdapat beberapa poin revisi.
Dari catatan sementara, tertera bangunan masjid didirikan oleh Tumenggung Pamit Wijaya dari kerajaan Kahuripan Bogor pada 11 Agustus 1615.
Kepengurusan masjid berikutnya diteruskan pada keturunan Tumenggung Pamit Wijaya, mulai dari anak, cucu, dan keturunan-keturunan setelahnya.
Selain bangunannya, area makam di depan masjid juga mengandung nilai sejarah karena terdapat makam para tokoh dan warga sekitar dari zaman masjid dibangun dulu, termasuk pejabat-pejabat terdahulu di Kabupaten Tangerang (sebelum pemekaran dan muncul Kota Tangerang). Ada sekitar ratusan makam di area depan masjid tersebut.
Arsitektur masjid yang bernuansa Tionghoa ditambah lokasinya berada di kawasan China Benteng yang dekat Vihara Boen Tek Bio, menjadi bukti potret toleransi dari masjid tertua di pecinan Tangerang dengan budaya masyarakat yang saling menghargai.