Topi tak hanya dapat berguna untuk melindungi kepala dari rintik hujan, atau teriknya panas sinar matahari. Topi nyatanya juga dapat membuat roda ekonomi berputar. Terlebih bagi masyarakat Tangerang, di masa lalu, topi tak saja merupakan produk unggulan yang dibuat oleh masyarakatnya, namun juga telah menjadi sebuah identitas yang melekat erat. Berkat topi ini pula nama Tangerang dikenal hingga ke Benua Eropa dan Amerika.

Selain dikenal sebagai wilayah penghasil rempah-rempah yang banyak diburu berbagai bangsa, salah satunya bangsa Eropa, Hindia Belanda juga dikenal sebagai wilayah penghasil kerajinan tangan yang amat diminati pasar internasional. Di awal abad ke-20, Hindia Belanda diingat sebagai wilayah penghasil topi bamboo dan pandan yang pernah dikenal di beberapa wilayah di dunia. Wilayah Hindia Belanda yang tropis membuat tumbuhan bambu dan pandan dapat tumbuh dan mudah ditemui di beberapa wilayah. Kebayoran, Buitenzorg dan Tangerang adalah beberapa wilayah yang dikenal sebagai tempat industri topi bambu dan pandan (J. Van Gelderen dan J. H. Boeke, 1974:71). Namun, industri topi di Kebayoran dan Buitenzorg tidak sebesar di Tangerang.

Dalam buku Labour in Southeast Asia: Local Processes in a Globalised World (2004) disebutkan bahwa pada masa lalu di daerah Tangerang memiliki wilayah pertanian yang luas. Di sana juga terdapat banyak penggilingan padi besar milik warga Tionghoa. Meskipun begitu, Tangerang tak hanya dikenal sebagai daerah penghasil genteng, barang tembikar dan topi. Barang yang disebut terakhir merupakan salah satu produk unggulan dari daerah Tangerang. Dalam buku yang sama bahkan disebutkan jika pada 1908 jumlah produksi topi bambu dan pandan Tangerang yang diekspor ke Eropa dan Amerika mencapai 10 juta buah pertahunnya.

Beberapa cara dilakukan untuk membantu mempromosikan topi Tangerang ini kepada pasar internasional dan Hindia Belanda. Untuk memperkenalkan produk ini kepada masyarakat Hindia Belanda, pada 1905 diadakan acara pasar malam. Dalam acara tersebut topi Tangerang beserta hasil kerajinan masyarakat pribumi lain di Hindia Belanda seperti batik dan pahatan kayu dipamerkan. Acara pasar malam diselenggarakan oleh pemerintah kolonial di beberapa kota besar di Hindia Belanda, seperti Batavia, Semarang, Surabaya, dan kota lainnya. Dalam pasar malam tersebut para pengrajin akan memamerkan hasil produk mereka. Para pengrajin juga akan menunjukkan cara pembuatan topi yang dapat dilihat oleh para pengunjung. Terselenggaranya pasar mala mini merupakan usaha dari pegawai pemerintah kolonial (Binnenlands Bestuur) bernama Johan Ernst Jasper. Hal ini dilakukan oleh Johan Ernst Jasper untuk memperluas pasar bagi produk-produk kerajinan pribumi (Susan Legene dan Janneke van Dijk, 2011:123-24).

Sementara usaha untuk mempromosikan dan memperluas pasar internasional khususnya Eropa juga dilakukan pada 1910, seperti yang dituliskan Marieke Bloembergen dalam bukunya De Koloniale Vertonging. Nederland en Indie op de wereldtentoonstellingen (2002), beberapa pengrajin kayu, batik, dan juga topi bambu Tangerang mendapatkan kesempatan memamerkan produk mereka di Brussels World Fair 1910. Namun sebelum hadir di Brussel, sebuah poster untuk sekolah yang menggambarkan para pengrajin topi bambu Tangerang terlebih dahulu hadir di Eropa. Poster dengan judul “Planting hats for Europe, West Java” itu dicetak oleh Haarlem Kleynenberg & Co yang gambarnya berasal dari pameran di salah satu pasar malam yang di selenggarakan di Hindia Belanda (Kroos van Brankel dan Daan van Dartel, 2012:42). Kroos van Brankel juga menambahkan, berkat poster ini langkah untuk memperluas pasar bagi topi bambu Tangerang di Eropa terlah terbuka. Poster ini pula yang membuat para pengrajin kayu, batik, dan juga topi bambu Tangerang bisa memamerkan produk mereka di acara Brussels World Fair 1910.

Meskipun telah dilakukan berbagai usaha untuk mempromosikan dan memperluas pasar dari topi bambu Tangerang, pengiriman topi-topi ini ke wilayah Eropa jumlahnya selalu naik turun. Hal ini terjadi karena memang perdagangan Hindia Belanda saat itu sangat terpengaruh dengan kondisi politik dunia. Seperti terlihat dari data yang terdapat dalam buku Tanah dan Penduduk di Indonesia (1974). Misalnya pada 1913 jumlah topi bambu yang dikirim dari Tanjung Priok berjumlah 5.495.394 yang bernilai 1.328.802 Gulden. Jumlah tersebut kemudian menurun di 1917 menjadi 2.573.033 buah pada saat Perang Dunia I sedang berlangsung. Nilainya pun menurun, hanya menjadi 668.983 Gulden.

Pada 1922 jumlah ekspor topi mengalami kenaikan sebesar 253.025 buah dari jumlah pada 1917, menjadi 2.826.058. Pada 1928, ekspor topi juga mengalami kenaikan yang signifikan. Ekspor topi bertumbuh menjadi menjadi 4.947.104 yang bernilai 2.044.889 Gulden. Namun, ekspor topi kembali mengalami sedikit penurunan setahun kemudian menjadi 4.436.568 yang bernilai 1.009.878 Gulden. Pada 1930, ketika terjadinya Depresi Besar di dunia, jumlah ekspor topi mengalami penurunan yang cukup besar menjadi 2.935.745 yang hanya bernilai 465.164 Gulden.

Sebelum diekspor, topi-topi ini dikumpulkan oleh beberapa tengkulak yang membelinya langsung dari para pengrajin. Para tengkulak ini kebanyakan berasal dari keturunan Tionghoa. Oey Hok Tjay, seorang jurnalis mencatat jika bisnis ini banyak dijalankan oleh pengrajin Betawi, Sunda, dan Tionghoa yang pembuatannya dilakukan oleh para wanita yang berpusat di daerah Balaraja, Cikupa, Tenjo, dan wilayah sekitar Tangerang lainnya.

Dari hasil produksi tadi, topi-topi ini kemudian dipisahkan menjadi dua bagian. Satu bagian untuk ekspor ke luar negeri, sementara bagian yang lain untuk dijual di dalam wilayah Hindia Belanda (M. R. Fernando, 1992:179). Setelah terkumpul, satu bagian topi untuk ekspor diserahkan kepada dua perusahaan besar di Batavia yang kemudian mengirim topi-topi ini ke luar negeri. Di beberapa wilayah di luar Hindia Belanda, topi ini menjadi primadona. Seperti yang pernah ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya, Jalan Pantura Jalan Daendels.

Pram tidak hanya mencatat bagaimana topi-topi ini pernah dipakai oleh para gadis-gadis di Paris atau kerani di Terusan Panama. Hilang dan hancurnya industri topi ini tak luput dari catatannya. “Masa kependudukan Jepang, dan masa kemerdekaan nasional telah membuat industry topi bambu gulung tikar. Nampaknya, takkan bangun dan bangkit lagi selama-lamanya” Kejayaan topi asal Tangerang perlahan mulai dilupakan oleh sebagian orang.

Ada sebuah pengingat kecil bagi kita tentang kejayaan topi Tangerang. Cobalah kita buka mesin pencari di internet dan lihatlah logo Kabupaten Tangerang. Dalam sebuah persegi panjang berwarna hijau di antara dua buah padi dan kapas terdapat sebuah topi bambu berwarna kuning emas. Bukan tanpa sebab topi tersebut diletakkan dalam logo Kabupaten Tangerang. Topi inilah yang pernah membuat nama Tangerang terkenal hingga Eropa dan Amerika.

Pada 2011 Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan penghargaan rekor topi bambu terbesar di dunia yang mempunyai diameter hingga dua meter. Topi yang dibuat oleh Komunitas Topi Bambu Tangerang ini dibuat untuk meningkatkan citra pengrajin topi bambu di Tangerang yang kini mulai terlupakan. Hingga kini di beberapa wilayah Tangerang masih terdapat pengrajin topi bambu. Walaupun memang tak sebesar dahulu, namun setidaknya kita patut bersyukur karena topi kebanggaan Tangerang ini tidak hilang ditelan zaman.

Sumber: http://www.loka-majalah.com/mengenang-kejayaan-topi-tangerang

There are no comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked (*).